Utang, Mensejahterakan atau Menyengsarakan?? (2)

Pada artikel sebelumnya telah di paparkan bahwa pada kondisi-kondisi tertentu, utang dapat meningkatkan GDP suatu Negara lebih besar dari pertambahan utang itu sendiri, sesuai dengan teori ekonomi makro. Lalu pertanyaannya sekarang adalah apakah kebijakan utang besar-besaran (terbesar secara rata-rata pertahun sepanjang sejarah Indonesia) yang dikeluarkan pemerintahan SBY telah berhasil membawa dampak positif yang setara dengan pertambahan utang tersebut??

Memang dari satu sisi terlihat bahwa pemerintah mampu menggunakan utang secara efektif dan efisien dalam meningkatkan GDP Indonesia. Hal ini jelas terlihat dari berkurangnya rasio utang kita terhadap PDB dari 56% di tahun 2004 menjadi 31.3% pada 31 januari 2009 (sumber: dirjen pengelolaan utang).

Namun apabila kita telaah lebih lanjut, ternyata peningkatan GDP yang sedemikian signifikannya, dari sekitar 1656 trilyun di tahun 2004 menjadi 4681.88 trilyun pada 31 january 2009 tidak membawa peningkatan kesejahteraan yang berarti bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Pada tahun  2004 sebelum pemerintahan SBY menjabat, tercatat penduduk miskin di Indonesia adalah sebesar 36,1 juta jiwa (sumber) dan  pada tahun 2008 sebesar 34,96 juta jiwa (sumber).

Dari situ kita bisa melihat bahwa peningkatan GDP yang hampir mencapai 3 kali lipat atau 300% selama 4 tahun hanya diikuti penurunan jumlah penduduk miskin yang tidak sampai 5%. Padahal standard penduduk miskin yang digunakan BPS adalah mereka yang memiliki pendapatan kurang dari Rp 6000/ hari, bukan standar bank dunia yaitu mereka yang pendapatannya kurang dari $2/hari.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa peningkatan GDP yang sedemikian besarnya, hampir seluruhnya dinikmati oleh mereka yang notabenenya bukan merupakan orang miskin, sehingga makin besarlah gap antara si miskin dan si kaya di Negara ini.

Oleh karena itu sudah semestinya lah pemerintah berfikir dua kali. Memang tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan, namun janganlah terus menerus MELANJUTKAN memfokuskan pada pertumbuhan dengan mengeluarkan kebijakan utang demi membiayai defisit anggaran pemerintah yang makin besar dari tahun ke tahun lalu melupakan pemerataan kesejahteraan bagi rakyat.

Memang pemerataan merupakan hal yang kurang “populer” dan relative jarang dibahas dibanding pertumbuhan dalam teori ekonomi, terutama bagi mereka yang berhaluan kapitalis, liberal, ataupun neoliberal. Maka dari itu apabila pemerintah mulai memberikan perhatian lebih pada hal ini, ini bisa sekaligus menjadi alat untuk membuktikan bahwa pemerintah yang sekarang tidaklah berhaluan neoliberal sebagaimana isu yang sedang marak sekarang ini.

4 thoughts on “Utang, Mensejahterakan atau Menyengsarakan?? (2)

  1. Oi, tuker2an link lah

    kalo argentina, punya utang banyak tapi mereka brani ga bayar, boleh ga tuh

  2. kalau memang utang itu bisa membawa manfaat ke negara debitur, sudah selayaknya dibayar. tp yg jadi masalah ketika utang itu malah menambah kesengsaraan rakyat karena berbagai hal (utang haram/odious debt), bukan hal yang dilarang kalau kita kemudian meminta penundaan pembayaran (moratorium) atau bahkan pemotongan utang (haircut) seperti yang dilakukan kebanyakan atau Nigeria.

    tapi pemerintah SBY lebih mementingkan gengsi, di tahun 2005 pasca tsunami, beberapa negara yg menawarkan pemotongan utang seperti inggris ditolak mentah2 oleh pemerintah..

Leave a comment